Jihad melahirkan

Aku tak pernah membayangkan bagimana rasanya melahirkan akan
seperti ini. Sempat muncul ketakutan pada diriku, “bisakah aku menjalani ini?”
Ini kehamilanku yang pertama. Wajar
sebetulnya, manakala muncul perasaan-perasaan yang demikian. Meskipun di sisi
yang lain, ada semacam bisikan yang membuatku sedikit merasa lebih tenang. “Calm down please. It’s natural process. All
of women can pass that.”
Seringkali aku bertanya soal melahirkan pada ibukku. “Bu,
gimana rasanya melahirkan?” Ibukku hanya menyampaikan soal rasanya, semacam
merasakan mules. Kalaupun sakit, itu cuma sedikit. Nanti juga bakalan sembuh
sendiri, kalau bayinya udah keluar.
Aku juga sempat beberapa kali tanya pada bulekku. Lagi-lagi,
ungkapan yang menenangkan, meskipun dalam hati aku berkata, “Ah yang benar?”. Kata bulekku,
melahirkan itu rasanya enak banget. Kalau gak enak, mana mungkin bulek pengen
nambah terus (nambah anak maksudnya J).
Waktu terus berjalan, dan kehamilanku semakin berumur tua,
mendekati waktu HPL. Tinggal, menunggu hari. H-15, H-7, dan semakin dekat lagi.
Aku tak menyangka, bahwa waktu melahirkan ternyata justru lebih awal dari HPL.
Jadi, berdasarkan perhitungan dokter, waktu HPL nya adalah tanggal 9 oktober
besok. Ternyata, tanggal 4 oktober, malam harinya, aku mulai merasakan sakit
pada bagian perutku. Rasa sakit yang muncul, kemudian menghilang. Muncul,
kemudian hilang lagi. Tapi berjeda begitu teratur. Membuatku merasa tak nyenyak
untuk tidur. Kucoba memejamkan mata, dan menahan rasa sakitnya. Tapi, karena
aku merasa tak tahan, maka aku sengaja membangunkan ibukku yang waktu itu tidur
di dekatku. (ceritanya, saya pulang ke
rumah ortu, rencana lairan di puskesmas deket rumah ortu. Itung-itung sembari
menimba ilmu merawat bayi dari ibu).
Aku tak bisa tidur. Rasanya begitu tak karuan, gak nyaman.
Setiap melihat jarum jam berputar, aku sudah harus bersiap-siap mental. “5 menit lagi, sebentar lagi, aku akan
merasakan sakit lagi,” bisik batinku (sambil
menghela napas). Dan begitu
seterusnya, jarum jam terus berputar. Dan setip 5 menit, aku sudah harus
bersiap-siap untuk merasakan sakit, mules.
Kuubah-ubah posisiku. Dari jalan, duduk, tidur miring. Begitu
seterusnya. Hingga ibukku begitu kasian melihatku. “Ya, udah, nanti ba’da subuh, dianterin ke puskesmas, Pak!” pinta
ibukku kepada bapakku. Pagi ini, suamiku sedang tidak di rumah bersamaku. Baru
ada urusan lain. Aku sudah kabarkan kepadanya untuk segera kembali, aku
kabarkan pula bahwa aku sudah mulai merasakan kontraksi teratur, pertanda mau lairan.
Dan pada akhirnya, karena keberadaan suamiku baru tak ada di rumah, mau tak mau
orang tuaku yang mendampingiku.
***
Ba’da subuh, usai kutunaikan sholat subuh 2 rakaat, aku
bergegas untuk segera menuju ke puskesmas. Dianterin bapakku tercinta. Tapi, sebelumnya
aku berpesan pada bapakku, “Pak, kalau
nanti aku ngrasain sakit, berhenti dulu ya. Oya, naik motornya pelan-pelan
aja.”
Suasana masih sunyi, langit masih gulita berwarna hitam.
Udara segar berhembus pelan. Melewati jalan kecil di tengah persawahan, dengan
perlahan-lahan ayahku mengendarai motor. Aku duduk membonceng sembari menahan
sakitku. Tapi, karena sakitnya semakin tak tertahankan, aku minta bapakku untuk
mengehentikan motornya. Begitulah, sampai akhirnya sakitku berangsur reda,
barulah kemudian motor kembali berjalan.
15-20 menit kemudian, akhirnya aku sampai di puskesmas.
Suasana puskesmas sepi. Bapakku harus menggedor-nggedor pintu puskesmas,
membangunkan satpam penjaga. Setelah pintu terbuka, aku diminta bidan untuk
memasuki ruang persalinan.
“Saya cek dulu ya mbak.
“
Tak lama aku menunggu hasil pemeriksaan bu bidan. Bu bidan
kemudian mengatakan, “Wah mbak, ini belum
bukaan sama sekali. Ya sudah, silakan pulang dulu saja mbak. Nanti kalau njenengan
nunggu di sini ndak malah gak nyaman. Pulang ke rumah dulu mawon.”
***
“Suara motor itu….Ya,
aku mengenalnya,” bisikku
lirih
Tepat dugaanku. Suamiku datang. Aku sudah merindukannya,
ingin menceritakan semua yang kualami padanya. Aku begitu membutuhkan kehadirannya
untuk mendampingiku (Cie… cie...sesi
romantis).
Ba’da subuh, rasa sakit yang kualami tak berhenti juga.
Semakin berguncang hebat. Bahkan tanpa jeda sama sekali. Setelah sarapan, aku
dibonceng suamiku untuk dibawa lagi ke puskesmas. Hari ini sebenarnya adalah
jadwal kontrolku. Aku ingin mengecek Hbku. Apakah sudah normal ataukah masih
rendah. Terakhir dicek, Hbku 8,7. Itu angka yang sangat kecil. Normalnya orang
akan melahirkan, Hb nya minimal 11. Maka dari itu, aku sempat merasa cemas,
karena melahirkan dengan Hb yang tak sesuai angka normal, beresiko pendarahan
yang tak berhenti saat persalinan.
Setelah menjalani pemeriksaan Hb dan riwayat ambeien,
akhirnya aku diperbolehkan untuk melahirkan di puskesmas. Alhamdulillah, batinku lirih.
***
Tak kubayangkan sebelumnya, bagaimana rasanya melahirkan.
Perut yang terasa tak karuan. Berulang-ulang kali, bahkan tanpa jeda. Selama
hampir 14 jam menunggu, belum juga usai. Hanya sedikit bercak yang keluar.
Bukaan juga masih dinyatakan sampai bukaan 2 lebih sedikit. Ah, kapan ini akan segera usai? Hingga
bukaan sepuluh? Rasanya aku hampir tak kuat. Ya, aku tak kuat tanpa pertolongan
kekuatan dari Alloh swt. Lahaulawala quwwata illabillah.
Hampir pukul 14. Masih saja aku memegang erat tangan suamiku,
untuk menyalurkan rasa sakit yang kualami. Berganti memegang tangan ibukku.
Kemudian mengubah posisi. Jalan, berbaring, berdiri setengah duduk,. Ah, rasanya begitu sakit.
Hanya rintihan bersamaan dzikir yang terus terlantun. Rasanya
tak karuan. Mataku membuka menutup, kakiku menjejal ke sana kemari. Posisi
tidur. Bahkan serupa sakaratul maut kupikir. Ya Alloh, ini bagian dari jihadku. Kalau kemudian aku meninggal, semoga
menjadi bagian dari syahid, bekalku untuk bertemu denganMu.
Menjadi teringat jelas bagiku, bagaimana kisah perjuangan
seorang ibu yang akan melahirkan. Antara hidup dan mati. Menjadi teringat jelas
bagiku, bagaimana perjuangan seorang ibu yang tak hanya melahirkan, tapi hingga
membesarkan anak. Ah, aku merasa begitu
banyak berdosa pada ibukku. Aku belum bisa menjadi anak yang berbakti
sepenuhnya. Aku masih sering tak patuh. Astaghfirullohal’adzim.
Satu jam, dua jam, terus berlalu. Hingga waktu menunjukkan
hampir pukul setengah lima. Mungkin lebih. Aku sudah berasa ingin mengejan.
Dan, bidan kembali mengecek keadaanku. Ya, nampaknya sudah menunjukkan bukaan
sempurna. Bidan dan asistennya, dua orang mahasiswi PKL dari jurusan kebidanan
UGM, membantu menyiapkan proses persalinan. Menyiapkan alat-alat yang
dibutuhkan. Mengkondisikan tempat untuk proses persalinan. Jam 5an lebih,
hampir maghrib. Aku diminta memposisikan diri. Tanganku diminta memegang kedua
pergelangan kaki sambil mengejan. Mengejan tanpa suara. Sekuat tenaga, sambil
mengangkat badanku dari posisi tertidur hingga tegak. Sekali, dua kali mengejan.
Belum juga bayiku keluar. Kembali aku diminta mengejan. Kali ini dengan
mengubah posisi tangan dan kakiku. Mengangkat kaki, setengah ditekuk, kemudian
meletakkan tangan di lipatan lutut. Menarik kaki ke arah kepala sambil
mengangkat badan. “Ek.. ek… ek..”
“Ayo sayang, sedikit
lagi,” terdengar
suara penyemangat dari suamiku.
Dan adzan pun berkumandang. Bayiku belum lahir. Usai adzan
berkumandang, kupanjatkan doa pada Alloh,
“Ya Rabb, mudahkan proses persalinan ini”.
Kembali dengan posisi yang sama, aku kembali diminta
mengejan. “Allohuakbar. Sedikit lagi
sayang.” Kembali terdengar suara suamiku. Akhirnya dengan sekuat tenaga,
bidan membantuku, mendorong perutku, dan, ah,
semua rasa bercampur aduk jadi satu. Entahlah, aku tak bisa menggambarkannya.
Air ketuban pecah. Diikuti keluarnya kepala bayiku. Daaan...
alhamdulillah, akhirnya proses penantian itu usai juga. Rasa syukur yang tiada
terkira. Alhamdulillaah ya Alloh…
Alhamdulillah…
***
Bayi perempuan. 3,2 kg, panjang 49 cm. Subhanalloh. Kini
sudah terlahir. Dan kami beri nama Aqila Izzatunnisa Setiawan. Wanita mulia yang cerdas.
Ya Alloh, semoga ia
mampu menjadi bagian dari investasi kami di akhirat kelak. Aamiin
***
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
@Rumah Ortu, 23 Oktober 2015
"SUBHANANALLAH" Begitu beratnya perjuangan seorang ibu saat melahirkan
ReplyDelete