LANTAS KENAPA TUHAN HARUS DIBELA? (Perjalanan hijrah menemukan makna syahadat)


 

Sudah menjadi rutinitas pagiku, ketika jam di HPku, menunjuk angka 7.00, maka aku akan segera membuka akun twitterku untuk kemudian mencermati notifikasi, kemudian membaca kicauan yang ada di wallku. Mengetik twit singkat, membalas twit yang me-mention akunku. Kebiasaan yang kalau tak salah ingat sudah aku tekuni hampir 5 bulan ini, sejak aku terlibat aktif dalam grup diskusi itu. Memang, perempuan tak terlalu mendominasi di dalam grup diskusi yang terdiri dari 10 orang itu. Aku hanya bersama 2 orang teman yang menjadi perwakilan kaum perempuan dalam grup itu. Kami sama-sama mahasiswa, satu kampus, tapi berbeda jurusan. Aku menemukan kelompok diskusi itu sebenarnya hanya kebetulan, tapi kemudian aku begitu tertarik dengan topik-topik yang didiskusikan. Mudah diterima dan rasional.

§  Alloh itu Maha Besar. Ia tetap akan Maha Besar meskipun banyak manusia yang mengejekNya, mencemooh nama-Nya.
§  Alloh itu Maha Suci. Namanya akan tetap suci meskipun banyak  manusia menodai asma-Nya.
§  Apa yang dilakukan manusia tak akan memiliki pengaruh sama sekali dengan ke-Maha Kuasaannya.
§  Jadi, Tuhan itu tak perlu dibela. Ia akan tetap Maha Besar, Maha Suci, Maha Kuasa, Maha Tinggi.

Twit yang aku posting beberapa waktu lalu seusai aku mengikuti diskusi bersama teman-teman sekelompokku. Saat itu kami sedang mendiskusikan sebuah buku yang cukup terkenal. Dan akhirnya kami dapati kesimpulan itu. Aku membenarkannya dan mengangguk-anggukkan kepalaku tanda setuju.
***
Namaku Reina. Aku anak tunggal. Aku terlahir dari keluarga muslim. Papaku seorang manajer di sebuah perusahaan besar di kotaku. Mamaku seorang dosen yang sudah beroleh gelar Doktor. Beliau menamatkan studi S1, S2, hingga doktoralnya di jurusan filsafat. Buku-buku filsafatnya cukup banyak terpampang di rak-rak ruang tamu. Sesekali ketika ada waktu luang, aku tak jarang menyentuh buku-buku itu. Membuka lembaran demi lembaran, menamatkan satu topik bacaan, dan seringkali aku jadi merenungkan apa-apa yang tertulis dalam buku itu. Cukup menarik, tapi cukup memeras pikiran juga.

Papa mamaku punya tingkat frekuensi kesibukan yang sangat tinggi. Aktivitasnya banyak. Berangkat pagi, pulang malam. Kadang-kadang mamaku tak pulang beberapa hari. Katanya di dalam telpon, "Reina, bisa masak buat sarapan sendiri kan? Mama punya stok sayur dan mie instan di kulkas. Tinggal dimasak aja. Uang yang kemarin mama kasih masih cukup kan? Dua hari ini mama ada agenda diklat penelitian. Dan bla, bla, bla yang lainnya". Tak jauh berbeda dengan mama, papaku pun sering begitu. Ada kunjungan ke luar kota, lembur perusahaan, pelatihan karyawan perusahaan, dan lain-lainnya. Dari kecil begitu, dan aku sudah terbiasa dengan ritme keluargaku yang begitu.

Sejak kecil aku tak terbiasa mendengar bacaan Qur'an. Bahkan sampai usia SMA, aku masih belum bisa membaca Al-Qur'an. Aku memutuskan les belajar membaca iqra' setelah aku merasa cukup malu karena waktu SMA ketika guru agama menyuruhku membaca Qur'an, aku bahkan tak bisa membaca. Alhamdulillah, sekarang sudah cukup ada perkembangan. Setidaknya aku sudah bisa membaca Qur'an meskipun masih terbata-bata. Pun, aku tak pernah diajari sholat oleh papa mamaku. Mereka berdua jarang mengerjakan sholat 5 waktu, bahkan tak pernah. Tapi, sejak aku diterima di salah satu perguruan tinggi berbasis agama, mau tak mau aku harus memulai membiasakan sholat, meskipun belum sepenuhnya lima waktu. Selain karena faktor penilaian dari dosen, juga untuk sekadar menggugurkan kewajiban. Saat aku menuliskan kisah ini, usiaku tepat masih 21 tahun. Semester 5, fakultas ilmu budaya.

"Reina, sarapan dulu. Mama udah masakin bubur ayam," samar-samar suara Mama memanggilku. Panggilan sayang dari mamaku yang sellau kutunggu-tunggu, setelah 2 hari aku tak bertemu beliau. Kututup leptopku dan kemudian aku beranjak menuju ruang makan menikmati masakan mamaku.
***
§  @reina... bagaimana bisa kau katakan bahwa Tuhan itu tak perlu dibela? Bukankah pembelaan itu adalah bentuk loyalitas terhadapa apa yang kita bela?
§  @reina : ketika kita mengaku berislam, lantas kita menjadi muslim, bukankah kita sudah seharusnya bangga dengan agama kita? berusaha sekuat tenaga untuk membelanya?

Dengan semangat menggebu, aku segera membalas twit yang memention namaku. sepuluh jari tanganku aktif mengetik tuts-tuts keyboard yang ada hpku.

Setiap orang bebas berpendapat, mengemukakan apa yang menjadi pemikirannya. Karena sesuatu itu relatif, tergantung penafsiran masing-masing orang.
Zaman terus berkembang, akal manusia juga terus berkembang. pembaharuan agama juga sebuah keniscayaan.
Banyak persoalan baru yang dihadapi manusia, yang tidak semuanya bisa dijawab oleh kitab suci dan doktrin agama.

Balasnya dalam beberapa menit kemudian,
Bagaimana kita bisa diam manakala ada yang berbincang anjinghuakbar? Mana pembelaan kita?
Diam adalah selemah-lemahnya iman. Perlu menegur dan menasehati.

Replyku kemudian,
Biarkan saja begitu. Apa peduli kita? Setiap orang punya kebebasan.
Toh, bukankah Alloh yang membolak-balikkan hati seseorang? Dia yang mampu berkehendak untuk itu?
Alloh sudah memberi jaminan untuk orang yang beriman bahwa orang beriman itu tidak akan pernah terjerumus dalam kesesatan karena dijaga Alloh.
 Alloh tidak perlu dijaga. Alloh lah yang menjaga manusia dari setiap kesesatan.
Urusan agama, itu urusan masing-masing. hak pribadi manusia
Ketika seseorang mengaku muslim, ya sudah kita harus akui mereka sebagai muslim.
Seorang muslim boleh memutuskan untuk melakukan sholat sekehendaknya, dengan caranya sendiri ataukah bahkan boleh saja untuk tidak sholat.
Islam itu relatif, tergantung penfasiran masing-masing.
Bukankah apa yang terjadi di muka bumi ini atas kehendak dan seizin Alloh?
Ketika ada yang menghina Alloh, bukankah itu juga sudah terjadi seizin-Nya?
Lantas kenapa kita harus membela Alloh padahal Alloh sendirilah yang sudah mengizinkan hal itu terjadi?
Sampai pada titik itu, maka obrolan kami lewat dunia maya berhenti. Entah gerangan apa yang terjadi. Kutunggu reply dari akun itu. Entah siapa dia, aku tak mengenalnya. Akunnya hanya tertulis @cintaislam. Ketika kubuka profilnya, tertulis “Alloh give the best for us. Islam is right way”. Tak ada balasan dari akun itu hingga dua hari ini. Aku tak bisa cuek. Setelah kuketik twit itu, aku merasakan ada sesuatu yang aneh. Aku tak nyaman.
***
"Dan Kami turunkan besi di dalamnya ada kekuatan yang dahsyat dan beberapa manfaat bagi manusia dan agar Alloh mengetahui siapa yang menolong-Nya (agama) dan Rasul-rasul-Nya walaupun Alloh tak melihatnya. Sesungguhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Q.S. Al-Hadid : 25)

Bukan karena Alloh lemah, tak berdaya, bahkan Alloh Maha Berkuasa untuk melakukan apapun. Bahkan Alloh berkuasa menciptakan besi yang memiliki kekuatan yang dahsyat. Justru ketika seorang hamba membela Alloh, karena ada yang menghina-Nya, maka itu sebagai bukti bahwa hamba itu mencintai Tuhannya. Bukankah bentuk kecintaan itu adalah ketidakrelaan seseorang manakala ada orang lain yang menghina orang yang dicintainya? Ada hamba yang berusaha mati-matian membela-Nya dan ada hamba yang hanya berdiam diri tak melakukan apapun ketika agamanya diinjak-injak, asma Tuhannya dilecehkan, itu adalah ujian agar Alloh mengetahui hamba-Nya yang manakah yang benar-benar tulus mencintai-Nya.

"Jika kalian menolong agama Alloh, maka Alloh akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (Q.S. Muhammad : 7)

Sebuah firman Alloh yang begitu gamblang. Bahwa janji Alloh ketika ada seorang hamba yang dengan sekuat tenaga, sepenuh jiwa berusaha untuk menolong agama Alloh-ketika asma-Nya dihina, ketika agamanya dilecehkan, ketika ada yang mengucapkan anjingguakbar, ketika Qur'an diinjak-injak, ketika ada yang mengakui bahwa ada nabi setelah kehadiran penutup para nabi, Muhammad saw- menolong agama Alloh, dengan jiwa dan harta yang dipunya, maka Alloh akan menolong dirinya, meneguhkan kedudukannya.

Pun bahkan Alloh telah berfirman dalam surat cinta untuk hamba-Nya, "Wahai orang-orang yang beriman, maukah Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya, berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Niscaya Alloh akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dlaam surga 'Adn. Itulah kemenangan yang agung." (Q.S. Ash-shoff : 10-12). Perniagaan antara seorang hamba dengan Tuhannya, perniagaan yang tidak ada kerugian di dalamnya. Jihad, membela dan menolong agama Alloh.

Jika memang Tuhan tidak perlu dibela, lantas untuk apa Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya untuk keperluan kaum muslimin?
Jika memang Tuhan tidak perlu dibela, lantas untuk apa para syahid di medan perang memperjuangkan agama tauhid itu yang terbentang dari masrig sampai maghrib dari awal zaman hingga akhir zaman?
Jika memang Tuhan tidak perlu dibela, lantas untuk apa Syekh Abdul Qodir Jailani berdakwah kepada muslim dan non muslim?
Jika memang Tuhan tidak perlu dibela, lantas untuk apa para wali mengarungi samudera menyebarkan islam di tanah jawa?
Jika memang Tuhan tidak perlu dibela, lantas kenapa Syekh Akhmad Asysyazili salah satu waliyullah ikut berperang melawan pasukan salib yang akan menguasai Mesir?
Jika memang Tuhan tidak perlu dibela, lantas mengapa Romo Mbah Hasyim As'ary mengirimkan santri-santrinya ke Surabaya, berjihad untuk mempertahankan tanah air dari tentara sekutu yang dipimpin oleh Bung Tomo dengan pekikan Allohuakbar?
Apakah Alloh lemah sehingga harus dibela?*)

Sebuah tulisan yang cukup panjang. Kudapatkan tulisan itu mampir di emailku. Aku tak tahu siapa yang mengirimkannya. Tak ada identitas penulis di sana. Tapi tulisan itu…Sebuah tulisan yang begitu menyentuh. Aku tersentuh. Aku hampir saja menangis. Kadar egoku menurun, bahkan dindingnya hampir runtuh. Ingin aku mengelak dengan semua pendapat dan logikaku yang terus berjalan. Tapi, aku pun tak bisa memungkiri bahwa tulisan itu pun rasional. Aku ingin mengelak, aku tak mau kalah...
***
Berhari-hari aku merenung. Bahkan aku tak bisa tidur. Masih saja berusaha mencerna apa yang tertulis di dalam email tak beridentitas itu. “Jika Tuhan tak perlu dibela, lantas…”Ah, kata-kata itu, masih terus menghantuiku.

Kulihat jam di HPku. Tepat jam 01.00 pagi. Aku masih mencoba memejamkan mataku, belum bisa. Aku mencoba memiringkan badanku ke sana kemari, ah belum bisa juga. Kupasang headset di telingaku lalu ku pencet  tombol ‘play’ list musik yang ada di HPku. 5 menit, 10 menit, ah masih susah untuk kupejamkan mataku.

Aku bangun. Kulangkahkan kakiku ke meja belajarku. Kuambil leptop yang ada di dalam tasku. Satu jam aku menghadap layar leptop. Kutuliskan uneg-uneg yang sedari beberapa waktu yang lalu mengganjal di pikiranku. Sedikit tulisan, namun aku berpikir keras untuk menuangkannya menjadi tulisan.
Jika Tuhan tak perlu dibela, lantas….
Menurutmu, definisi Tuhan itu seperti apa? Tuhan adalah pencipta alam semesta raya. Bukankah begitu? Asyhaduallailahaillalloh wa asyhaduannamuhammadarrosululloh. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Alloh dan saya bersaksi bahwa nabi muhammad adalah utusan Alloh. Makna ilah adalah Dzat yang menciptakan alam raya dan seisinya. Itu poin utamanya. Adapun untuk penyembahan kepada Tuhan, itu dikembalikan kepada masing-masing sesuai dengan kepercayaan apa yang disembahnya. Ketika ada orang yang mengakui batu, nabi, pohon, patung sebagai sesembahan selain Alloh, itu hak mereka. Toh mereka yang penting masih tetap menyembah Alloh. Makna syahadat sebenarnya hanya mengakui Alloh sebagai satu-satunya pencipta, bukan sebagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah. Bukankah begitu?
             
Segera saja kukirimkan tulisanku ke email tak beridentitas itu. Aku ingin tau lebih dalam apa respon yang akan dia berikan untukku. Reply, ku copas tulisanku yang ada di word, dan sent. Usai itu, aku kembali ke tempat tidurku, dan aku mencoba memejamkan mataku.
***
Siang yang cerah. Bulan ini sudah pergantian musim antara penghujan dan kemarau. Beberapa bulan lalu, hujan begitu deras mengguyur di kala siang. Dan sekarang ini, hampir tiap siang panas terik yang kurasakan. Hari ini, jam kuliahku sudah selesai. Dan aku langsung bergegas pulang. Tak ada janji dengan teman kuliah untuk sekadar menyelesaikan tugas kelompok maupun nongkrong. Upz, aku baru ingat! Ada message 2 hari yang lalu dari temanku, mengundangku untuk datang berdiskusi. Tapi, enggak lah. Aku ingin sejenak beristirahat. Kuputuskan untuk tidak mendatangi acara diskusi sore ini.

Kembali kududukkan diriku di bangku kamarku. Kubuka leptop kesayanganku. Tiga hari ini, aku menanti email balasan dari orang yang tak beridentitas itu. 5 menit loading, Ahai kudapatkan message baru di emailku. Daaan… ya, ini yang kutunggu-tunggu.

Assalamualaikum, saudaraku. Semoga apa yang aku tuliskan ini bisa menjadi pencerahan bagimu. Menjawab keingintahuanmu, dan meluruskan persepsimu, biidnillah.
Syahadat, adalah gerbang pintu seseorang memasuki agama islam. Dan syahadat itulah yang menjadi kunci kita menuju syurga. Syahadat adalah sumpah kita kepada Alloh, bahwa tidak ada ilah selain Dia. Dan pastilah ketika kita bersumpah, maka pasti ada konsekuensinya.
Syahadat menjadi kunci masuknya surga. Adalah Nabi, begitu bersedih, ketika di akhir hayat paman beliau, Abu Thalib, beliau tak bersedia untuk bersyahadat. Padahal hanya dengan syahadatlah, surga bisa digapai. Adapun ketika ada seorang manusia yang hingga akhir hayatnya tidak pernah menyatakan dirinya berislam, tidak mengucap kalimat syahadat, maka pastilah neraka sebagai tempat tinggalnya kelak.
Sebenarnya, semua ruh sebelum terlahir ke dunia, mereka sudah disumpah Alloh, untuk menyatakan Alloh sebagai satu-satunya ilah yang haq, Tuhan yang disembah. Akan tetapi kemudian, ketika terlahir di dunia, maka manusia tak ingat dengan janji itu, dan kemudian agamanya adalah sesuai dengan agama orang tuanya, kecuali kemudian ia mendapatkan hidayah untuk berislam, kembali kepada fitrahnya.
Ada hal yang salah dari pemahaman Anda tentang makna ilah. Ilah menurut penfasiran para filsuf yang sudah menyimpangkan makna, memang diartikan demikian. Ilah  bermakna alih yang berarti Yang Maha Berkuasa (Al-Qadir). Atau juga bisa dikatakan bahwa ilah artinya Dzat Yang Maha tidak membutuhkan segala sesuatu, Dzat yang dibutuhkan oleh segala sesuatu selain diri-Nya. Sehingga mereka mengatakan bahwa makna lailahaillalloh adalah “Tidak ada Dzat yang Maha Kaya dan menjadi sumber terpenuhinya kebutuhan segala sesuatu kecuali Alloh.” Pemahaman yang tidak tepat.
Adalah dalam makna yang sebenarnya, bahwa ilah bermakna ma’luh, objek yang disembah. Ini berarti bahwa ilah adalah segala sesuatu yang dijadikan sesembahan. Memang, ilah itu ada banyak dan dalam realita maupun berdasarkan ayat Al-Qur’an demikian. Seperti yang tertulis di dalam Q.S. Al-Furqon ayat 3, bahwa Alloh berfirman yang artinya, “Kemudian mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang sesembahan mereka itu tidak menciptakan apapaun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) suatu kemudharatan dari dirinya dan (tidak pula untuk mengambil) seseuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa untuk mematikan, menghidupkan, dan tidak (pula) membangkitkan.” Dari surat al-Furqon itu jelas, bahwa orang-orang musyrik mengangkat ilah selain Alloh. Berarti memang benar, bahwa ilah selain Alloh itu ada. Hanya saja, ketika kita sudah berikrar mengucapkan syahadat “Lailahaillalloh”, itu berarti kita sudah mengakui bahwa satu-satunya ilah yang haq disembah adalah Alloh. Kata “La” dalam kalimat lailahaillalloh itu berarti menafikkan adanya ilah-ilah (sembahan) yang lain, dan hanya mengakui bahwa ilah yang kita sembah adalah Alloh.
Dalam surat Yasin : 24, Alloh sudah tegaskan dengan firman-Nya, “Kalau aku demikian (menyembah sesembahan-sesembahan selain-Nya), tentu saja aku berada di dalam kesesatan yang nyata.”

Kuangguk-anggukan kepalaku. Begitu jelas. Terang. Dan aku masih berusaha berpikir keras, mencerna, meluluhkan egoku untuk menerima kebenaran. Apakah selama ini aku salah? Aku masih terus mencari.
***
            "Ma, Mama tau arti syahadat enggak?"

Pertanyaan itu membuka obrolan pagi hariku bersama kedua orang tuaku di ruang tamu. Papaku sedang sibuk mengetik di leptopnya, menyelasaikan urusan kantor mungkin. Mamaku, sedang asyik menekuri buku-buku filsafatnya, mencari referensi untuk penelitian terbarunya. Seketika itu, keduanya berhenti dan menatapku, bertanya-tanya apa yang ingin kutanyakan kepada mereka. Jarang sekali kami mengobrolkan topik yang berkaitan dengan agama. Mungkin mereka merasakan kenaehan pada diriku.

"Asyahaduallailahaillalloh. Waasyhaduannamuhammadarrasululullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Alloh dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Bukankah begitu, Reina?" jawab Mama dengan wajah penuh tanya
"Iya betul," kataku
"Lantas Mama atau Papa tau apa makna dari kalimat syahadat itu?" lanjutku
            Hening. Bunyi tuts-tuts keyboard leptop tak ada lagi, ataupun gemerisik suara lembaran kertas             yang dibuka. Meraka masih menatapku.
"Mama, bukannya Mama itu dosen mata kuliah filsafat. Pertanyaan seperti ini, tentang epistimologi, aksiologi, bukankah itu suatu pertanyaan mendasar?"
"Atau Papa, bukannya Papa sudah 45  tahun ini berislam. Lalu makna syahadat itu apa?"
"Reina pengen tahu Ma, Pa."
"Mama, Papa gak pernah ngajarin Reina ngaji, gak pernah ngasih contoh gimana caranya sholat. Terus ketika kita ngaku menjadi orang islam, lantas kenapa kita tidak menjalankan perintah Alloh, tidak meneladani Nabi?"
***

Hidayah. Sesuatu yang harus diminta. Nikmat yang begitu mahal, tak ternilai harganya. Butuh ikhtiar untuk menjemputnya. Tidak hanya sekadar menunggu. Pun ketika hidayah sudah didapat, maka butuh  sekali untuk terus menjaganya, mempertahankannya. Perlu terus meminta. "Rabbanaa laatuzighquluubana ba'da idzhadaitana wahablanan milladunka rahmah. Innaka antalwahhab." Alhamdulillah, kini aku mendapatkannya. Begitu pula Papa dan Mamaku. Aku bahagia, bahagia tiada tara. Dan aku tak ingin kehilangannya.
***

Islam adalah ajaran yang lengkap, agama yang sempurna, sesuai dan aplikatif untuk semua zaman, bahkan hingga akhir zaman. "Pada hari ini, telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q.S. Al-Maidah : 3)

Al-Qur'an adalah kitabulloh yang dijadikan sebagai kunci pokok keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Al-Qur'an berisi petunjuk hidup yang mesti dijalankan oleh orang yang mengaku muslim. Dalam memahami ayat-ayat yang tertulis di dalam Qur'an kita tidak bisa mentafsirkannya sendiri, sesuai dengan pikiran dan keinginan kita. Ilmu yang kita punya bahkan belum mumpuni untuk bisa mentafsirkan ayat Qur'an tersebut. Seorang mufassir, ahli tafsir, ketika akan menafsirkan Qur'an, maka harus memiliki kepahaman dalam banyak hal. Memahami bagaimana asbabun nuzul dari ayat tersebut. Memahami ayat muhkamat-mutasyabihat, memahami ayat-ayat makkiyah dan madaniyah, paham akan hal nasikh dan mansur, paham sejarah kodifikasi Qur'an, paham ilmu ushul fiqih, dan harus paham pula ilmu Qiro'ati.

Menafsirkan ayat sekehendaknya berarti telah menturutkan hawa nafsunya. hanya ingin mengambil ayat yang diinginkannya dan membuang yang lainnya. Na'udzubillahi mindzalik. Seperti apa yang telah dilakukan oleh sebagian kaum Bani Israil yang begitu membangkang akan perintah Alloh, bahkan sampai mengganti ayat-ayat yang ada di dalam Kitab-Nya dengan apa yang menjadi kehendak mereka, kemudian menjualnya. Semoga kita terlindung dari perbuatan yang demikian.

Tulisan singkat, yang aku ketik pagi ini usai tahajjud. Aku ingin kirimkan ini pada teman-teman satu kelompok diskusiku. Semoga mereka pun segera menyadarinya. Sudah hampir sebulan ini message mereka hampir memenuhi inbox HPku. Mengajakku diskusi tentang topik-topik baru. Sengaja aku tidak membalasnya. Aku masih butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku, merenung, menimba ilmu, mencari tahu yang sebenar-benarnya. Dan sejak saat ku terima surat dari email tak beridentitas itu, aku kemudian menemukan jalan ini.

Jalan hidayah, jalan lurus. Aku tak ingin kembali kepada jalan yang bengkok, kemarin.
***






*) Diambil dari tulisan NurKholis Ghufron, kompasiana.com, Mei 2014 

Comments

Popular posts from this blog

Seberapa Lama Daya Tahan ASI Perah (ASIP) ?

Nikmat ketika membawamu...

SUASANA ROMANTIS DALAM KELUARGA RASULULLAH SAW (bag-1)