MUHASABAH
Kupikir di antara kesibukan-kesibukan dunia
itu, perlu ada satu ruang. Ya, ruang untuk bermuhasabah; mengevaluasi,
introspeksi diri. Terlalu sering manusia mengejar deadline ini itu; tanpa
menyempatkan diri untuk menghela nafas sebentar; berhenti di terminal
pemberhentian. Seolah ia nonstop berlari. Berlari hingga akhirnya ia berada
pada titik jenuh. Kemudian barulah ia tersadar; tersadar untuk kembali…
(10 :40)
Seringkali manusia begitu disibukkan
dengan urusan-urusan di dunia. Mengurus masalah keluarga, akademis, amanah,
kantor, kerja-kerja di masyarakat, dan lainnya. Seolah waktu barang semenit pun
tak boleh terlewat dengan kesia-siaan. Mengejar target yang sudah di list di
malam hari sebelumnya atau pagi harinya. Inginnya apa yang sudah di list harus
terlaksana. Atau ia akan kecewa dan mendhalimi urusan lain di esok harinya. Ya,
begitu. Dan ini menjadi rutinitas, kebiasaan.
Karena seolah setiap hari terkejar
oleh deadline dunia, maka urusan-urusan akhirat menjadi nomor kesekian, bukan
yang utama. Urusan akhirat menjadi hal yang disampingkan. Esensinya menjadi
berkurang. Hanya sebatas menunaikan kewajiban. Kekhusuyukan sholat berkurang,
sholat menjadi tidak tepat pada waktunya, lembaran tilawah yang dibaca semakin
menipis, sholat sunah yang ditegakkan sebelumnya hanya menjadi rutinitas biasa;
tanpa “feel” yang kuat atau bahkan bisa jadi sholat sunah yang tadinya rutin
dikerjakan karena terburu oleh target harus menyelesaikan urusan dunia maka tak
lagi dikerjakan.
Ini yang justru menjadi pertanyaan.
Kenapa menjadi demikiankah? Bukankah justru ibadah-ibadah kita, hubungan kita
kepada Alloh; habblumminalloh adalah
bekal untuk menyelesaikan urusan-urusan dunia. Kekuatan ibadah dan keimanan
kita merupakan kunci untuk menyelesaikan permasalahan dan urusan dunia. Ya,
karena segala sesuatu Allohlah yang menggenggam. Bukan pada manusia. Pastilah
ketika hubungan kita dengan Alloh beres, maka Allohlah yang akan turut
membereskan urusan kita. Dan jaminan dari ini adalah ketenangan hidup. Kita
berikhtiar akan tetapi dalam ikhtiar kita, ada Alloh di sana. Berikhtiar hanya
mengandalkan pada kemampuan diri, tanpa memohon pertolongan padaNya adalah
bentuk kesombongan kita padaNya. Padahal Dialah, Rabbulalamin, dan manusia tak berdaya tanpaNya.
Ketika urusan-urusan dunia yang kita
lakukan kemudian menjadi rutinitas tanpa adanya jeda sejenak, tentu rasa
kepayahan akan datang. Dan ketika ini dibiabrkan, maka semakin lama perasaan
payah ini akan memuncak dan menjadi kejenuhan. Perasaan jenuh adalah perasaan
yang benar-benar tak mengenakkan. Pada titik inilah, barulah kemudian manusia
tersadar.
Karenanya, pos pemberhentian,
muhasabah, evaluasi diri dan apa-apa yang kita lakukan adalah satu hal yang
perlu. Pos pemberhentian adalah saat di mana
kita meninjau ulang apa-apa yang telah kita lakukan sejauh kita melangkah;
bagaimana ketercapaiannya, apa yang perlu diperbaiki; diluruskan, apa yang
harus dilakukan setelahnya. Dan yang paling utama pada pos pemberhentian ini
adalah perkara reorientasi niat. Jangan-jangan ketika kita melangkah niat kita
sudah berubah, tak lagi seperti niat semula yang begitu lurus dan mulia.
Jangan-jangan ketika kita telah melangkah sejauh ini, telah banyak penyakit
hati yang mengotori sehingga niat akhirat berganti menjadi niat duniawi. Astaghfirullohal’adzim. Karena niat
adalah pangkal dari semuanya; karena hasil dari apa yang kita lakukan
bergantung dari niat kita; menjadi satu hal yang perlu untuk senantiasa
mereorientasi niat kita. Buat apa kita melakukan ini itu dengan penuh kepayahan
tapi pada akhirnya kita tak beroleh apapun. Wallohu’alam
bisshowab.
Comments
Post a Comment