Nifas Lebih Dari 60 Hari, Apakah Jadi Haid Atau Istihadlah?
Saya
pernah ditanya mengenai ibu muda yang baru mengalami darah nifas. Ia bimbang
karena di hari ke-41 darahnya tetap mengalir dengan deras, sederas hari-hari
sebelumnya. Yang
ia tahu dari gurunya adalah bahwa masa nifas itu maksimal 40 hari. Jika
melewati batas itu, maka disebut istihadlah. Ia memang pernah dengar mengenai
pendapat yang 60 hari, tapi katanya sih itu bukan pendapat yang dipakai oleh
gurunya.
Namun
dalam kesempatan lain, ia juga pernah belajar bahwa nifas dan haid itu bisa
saja dialami tanpa harus dijeda oleh masa suci. Karena yang harus dijeda
dengan masa suci itu adalah dua masa haid. Awalnya
saya juga ragu menjawab. Tapi alhamdulillah, saya dapat ‘contekan’-nya dari
kitab-kitab turats yang ditulis ulama fiqih empat madzhab yang ilmunya luar
biasa itu. Allahumarhum.
Berikut
beberapa pandangan ulama mengenai darah yang masih keluar dari kemaluan
wanita setelah melewati durasi maksimum nifas.
1.
Mazhab Al-Hanafiyah
Madzhab
ini membedakan antara wanita al-Mubtadi’ah bil habal dan al-Mu’taadah
bil-habal.
Al-mubtadi’ah
bil habal adalah
wanita yang melahirkan atau mengalami nifas untuk pertama kalinya. Sedangkan al-Mu’taadah
bil-habal adalah wanita yang sudah pernah melahirkan beberapa kali,
dan terbiasa mengalami nifas dengan durasi yang sama. Artinya
ia tahu berapa lama biasanya melalui masa nifas, sebab sudah berkali-kali
mengalaminya dengan durasi waktu yang sama. Misalnya, wanita yang sudah
mengalami nifas tiga atau empat kali, dan setiap nifas durasinya selalu 35
hari misalnya.
Adapun
wanita yang pertama kali mengalami nifas (Al-mubtadi’ah bil habal),
jika darah masih keluar melewati 40 hari paska melahirkan, maka darah yang
keluar di hari ke-41 dan seterusnya disebut darah istihadlah. Sebab menurut
madzhab ini durasi maksimal darah nifas adalah 40 hari, sebagaimana darah
haid yang juga punya durasi maksimal yakni 10 hari.
Dalam
madzhab ini, jika wanita mengalami masa haid lebih dari 10 hari maka darah
yang keluar setelahnya (hari ke-11 dst) disebut istihadlah. Sebab durasi
maksimal haid adalah 10 hari. Begitupula wanita yang mengalami nifas, darah
yang masih keluar setelah masa 40 hari disebut istihadlah, sebab durasi
maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari.[1]
Sedangkan
wanita yang terbiasa mengalami nifas dengan durasi yang sama (al-Mu’taadah
bil-habal), jika masih ada darah yang keluar dari durasi kebiasaannya,
maka untuk menentukan jenis darah yang masih keluar itu tergantung pada tiga
keadaan berikut:
Pertama, jika ia terbiasa
mengalami nifas selama tepat 40 hari, maka darah yang masih keluar setelah
itu (hari ke-41 dst) adalah darah istihadlah. Maksudnya,
wanita ini sudah melahirkan lebih dari sekali, bahkan beberapa kali. Dan
setiap kali usai melahirkan, masa nifasnya selalu tepat 40 hari. Tidak kurang
dan tidak lebih. Darah yang keluar dari rahimnya tidak pernah berhenti
sebelum 40 hari, juga tidak keluar hari dihari ke-41 dan seterusnya.
Bagi
wanita ini, patokannya adalah 40 hari. Angka ini mengacu pada dua hal:
Maka,
jika di kelahiran selanjutnya ternyata darah masih keluar setelah hari ke-40,
artinya ia mengalami istihadlah (di hari ke-41, ke-42, dst).
Kedua, Jika ia terbiasa
mengalami nifas selama kurang dari 40 hari, maka darah yang masih keluar
tetap disebut nifas sampai pada hari ke-40. Dan darah yang keluar melewati 40
hari disebut istihadlah. Misalnya
kebiasaannya nifasnya sejak kelahiran anak pertama hingga anak keempat selalu
35 hari ( di titik ini disebut masa ‘aadah).
Jika
ternyata setelah melahirkan anak kelima ternyata darah masih keluar di hari
ke-36, maka darah yang melewati masa ‘aadah-nya masih disebut
darah nifas hingga mencapai hari ke-40. Sedangkan jika masih keluar juga,
maka darah yang keluar di hari ke-41 dan seterusnya disebut istihadlah.
Ketiga, Akan tetapi jika ia
terbiasa mengalami nifas lebih dari 40 hari, maka patokannya adalah durasi
yang menjadi kebiasaannya. Sedangkan jika darah masih juga keluar setelah
masa kebiasaannya itu, maka darah tersebut adalah istihadlah. [2]
Artinya, selama berkali-kali melahirkan, ia selalu mengalami keluar darah dari rahimnya selama lebih dari 40 hari. Dalam kasus yang ketiga ini, madzhab Hanafi memandang bahwa darah nifas atau istihadlah ditentukan oleh masa kebiasaannya ('aadah). Jika ia terbiasa keluar darah selama 45 hari, maka darah selama itu disebut darah nifas. Begitu juga jika masa ‘aadah-nya adalah 49 hari, maka darah yang keluar selama 49 hari itu disebut nifas. Walaupun dalam madzhab ini masa maksimal nifas dipatok 40 hari. Jika masa ‘aadah-nya selama beberapa kali melahirkan adalah 45 hari, maka di kelahiran berikutnya darah yang masih keluar setelah itu disebut darah istihadlah (hari ke-46, 47, dst). Keadaan wanita yang ketiga ini menjadi pengecualian dibanding wanita yang ada dalam keadaan yang pertama atau kedua.
2.
Mazhab Al-Malikiyah
Madzhab
Maliki memandang bahwa maksimal darah nifas adalah 60 hari. Sedangkan jika
masih keluar setelah itu, maka disebut darah istihadlah. Bahkan, walaupun si
wanita terbiasa keluar darah lebih dari 60 hari .[3]
Karena
dalam madzhab ini patokan maksimal keluarnya darah nifas adalah 60 hari. Dan
parameter ini berlaku bagi wanita dalam keadaan apapun. Madzhab ini lebih
sederhana ketentuannya dibanding madzhab lainnya.
3.
Mazhab Asy-Syafi'i
Dalam
madzhab ini, maksimal keluarnya darah nifas adalah 60 hari. Namun, jika darah
masih keluar setelah melewati masa 60 hari, ulama madzhab Syafi’i memiliki
beberapa pandangan yang berbeda dalam menentukan jenis darah itu nifas atau
istihadlah:
Mayoritas
fuqaha madzhab ini memandang masalah ini mirip dengan haid, darah yang keluar
setelah melewati masa 15 hari disebut darah istihadlah Karena dalam madzhab
ini durasi maksimal untuk masa haid adalah 15 hari. Maka demikian pula dalam
masalah nifas. Jika sudah melewati durasi maksimal nifas, yakni 60 hari, maka
darah itu disebut istihadlah. [4]
Sebagian lain ada juga yang memandang bahwa yang dinamakan darah nifas adalah darah yang keluar saat atau sesudah melahirkan hingga mencapai 60 hari. Sedangkan jika keluar setelah itu dinamakan darah haid. Sebab darah nifas dan darah haid adalah dua darah yang berbeda, maka bisa saja keduanya bersambung satu sama lain tanpa jeda. [5]
4.
Mazhab Al-Hanabilah
Madzhab Hambali berbeda dari madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki mengenai durasi maksimal keluarnya darah nifas. Dalam madzhab Hambali ini, durasi maksimal nifas adalah 40 hari.
Pada
dasarnya, dalam madzhab ini seorang wanita yang masih keluar darah setelah
hari ke-40, maka darah itu disebut istihadlah (keluar di hari ke-41, ke-42,
dst)
Namun,
ada kalanya seorang wanita mengalami masa nifas dan haid secara
sambung-menyambung tanpa jeda. Madzhab Hambali mensyaratkan beberapa hal
khusus dalam kasus ini:
a. Darah yang melewati hari ke-40 itu keluar pada waktu yang seharusnya ia mengalami haid. Jadi, dulu sebelum hamil ia merupakan wanita mu’taadah bil haid yang terbiasa mengalami haid di tanggal itu. Misalnya, dulu sebelum hamil wanita ini terbiasa mengalami haid setiap awal bulan. Kemudian setelah melahirkan, ia mengalami nifas selama 40 hari berturut-turut. Namun di hari ke-41 darahnya masih terus keluar bersamaan dengan waktu yang seharusnya ia mengalami haid (awal bulan). Dalam kasus ini, darah yang keluar di hari ke-41 bisa saja disebut darah haid, jika memenuhi syarat yang lain.
b.
Darah yang keluar melewati masa maksimal nifas itu durasinya tidak melewati
durasi kebiasaannya saat mengalami haid. Misalnya,
jika wanita mu’taadah bil haid ini memiliki masa ‘aadah 7
hari tiap kali haid. Jika darah masih keluar di hari ke-41 hingga ke-47, maka
darah tersebut adalah haid. Sebab darah yang keluar di hari ke-41 hingga hari
ke-47 itu bersamaan dengan waktu yang seharusnya ia mengalami haid, dan
durasinya sama dengan durasi kebiasaan haidnya (7 hari).
Madzhab
Hambali menambahkan bahwa jikapun darah yang melewati batas maksimal nifas
itu keluar lebih lama dibanding masa ‘aadah-nya, maka darahnya
tetap darah haid jika ternyata itu berulang hingga tiga kali berturut-turut. [6]
Misalnya,
wanita mu’taadah bil haid diatas tadi tetap keluar darahnya
di hari ke-41 hingga hari ke-30 bersamaan dengan tanggal kebiasaan haidnya.
Maka darah yang keluar selama 9 hari tersebut (tanggal 41 hingga tanggal 30)
tetap disebut haid jika dua bulan berikutnya ia mengalami haid selama 9 hari
juga.
Artinya,
seorang wanita bisa saja mengalami nifas dan haid dengan bersambung tanpa
diselingi masa suci, HANYA jika syarat-syarat diatas terpenuhi. Jika tidak,
maka darah yang keluar di hari ke-41 dan selanjutnya tetap disebut
istihadhlah.
Kesimpulan
Demikian
pendapat dari ulama empat madzhab. Tiap kali saya habis ngisi ceramah tema
Fiqih Darah Wanita dengan pemaparan lintas madzhab, sering sekali ada jamaah
yang tanya: "trus kita pakai pendapat yang mana dong?"
Perbedaan
pendapat ini kita jadikan sebagai khazanah ilmu dalam agama. Kita dapat
memilih mana yang paling sesuai dengan siklus kita. Jika memang ternyata
pendapat Madzhab Syafii sesuai dengan siklus haid dan nifas kita, boleh saja
kita pakai madzhab ini. Begitupula jika Madzhab Hanafi yang ternyata lebih
mudah metode penentuan jenis darahnya, silakan juga condong pada madzhab ini.
Semua
pendapat ulama diatas tidak ada yang salah. Mereka adalahmujtahid muthlaq
mustaqil yang memang sudah memiliki kapasitas berijtihad dengan
merujuk pada al-Quran dan Sunnah. Dan kita tidak berada pada posisi untuk
menyalahkan salah satunya, ataupun merajihkan satu madzhab dari madzhab
lainnya.
Wallahu
a'lam bishshawab.
Aini
Aryani, Lc
[1]Al-Kasani, Badai’
As-Shanai’, jilid 1 hal 42
[2] Al-Kasani, Badai' As-Shanai', jilid 1, hal. 43 [3] Al-Kharasyi, jilid 1, hal 210 [4] Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 41, hal. 10 [5] Al-Imam A-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, jilid 1, hal. 530 [6] Syarh Muntahal Iradat, jilid 1, hal. 116 |
sumber : http://www.rumahfiqih.com/nisa/x.php?id=11&=nifas-lebih-dari-60-hari-apakah-jadi-haid-atau-istihadlah.htm
Comments
Post a Comment